Fiction

Tuan Putri

Posted by sarah.kartika.paksi on September 13, 2015
Fiction / No Comments

Ini adalah hal terberat dalam hidupku.

“Princess, ayah pergi.” Ayah selalu memanggilku ‘princess’. Tidak peduli aku dianggap boyish disekolah, ayah tetap menganggap aku tuan putrinya. Itu menyakitkan. Sakit ketika aku selalu kesal dipanggil begitu.

“Aku bukan princess, yah.” Ayah terkekeh sembari menunjukkan garis-garis halus di tepi kedua matanya. Ayah sudah tua, aku bisa melihat keriput di punggung tangan ayah. Tangan tegas dan besar yang selalu membelai kepalaku saat aku menangis setelah jatuh dari pohon mangga, tangan yang selalu memegang tanganku agar aku tidak hilang ditelan keramaian pasar, tangan yang selalu memberiku cokelat setiap aku pulang sekolah, dulu, sekitar 10 tahun yang lalu. Menyenangkan saat masa-masa itu terjadi, namun tidak sekarang mengingat usiaku sudah hampir memasuki 19. Anak nakal cengeng yang dulu sudah menjadi gadis remaja yang tidak bisa dibilang penurut. Namun, ayah tetap menganggapku tuan putrinya.

Aku kesal.

Bukan karena tidak diberi cokelat lagi oleh ayah, bukan juga karena kepalaku tidak dibelai lagi oleh ayah….

“Aya, lepas headset mu ketika ayahmu bicara.” Ibu memarahiku sembari membelai rambutku. Seolah tak mendengar, aku menutup kedua mata dan pura-pura tidur. Musik di ponselku sudah sedari tadi kumatikan, aku hanya berpura-pura. Aku mendengar setiap kata yang ayah katakan, aku merasakan setiap belaian tangan ibu yang hingga sekarang terus membelai kepalaku lembut.

Aku benar-benar kesal.

“Bu, sepertinya sudah datang.” Kata ayah.

“Aya, kamu yakin gak mau salam ayahmu dulu?” Tanya ibu.

Sialan.

Aku bukan gadis kecil cengeng lagi, tapi air mataku turun begitu saja, membasahi alas bantalku. Bisa aku dengar suara pintu kamarku ditutup. Ayah sebentar lagi pergi. Mereka sudah menjemput ayah, sudah didepan rumah.

Aku membenci pekerjaan ayah. Aku pikir dengan menjadi tentara, ayah akan dianggap sebagai pahlawan. Aku kira, para tetangga, teman-temanku serta orang yang melihat ayah akan memberi hormat akan jasanya.

Aku ingat sekali saat ayah baru saja pulang dari tugasnya, seseorang datang dengan mengetuk pintu rumah dengan cukup kuat. Saat itu aku baru berusia 9 tahun. Aku mengintip dari dapur melihat siapa yang datang. Ibu dan ayah menyambut orang itu diruang tamu.

“Bayar! Kalau tidak, kalian tau apa yang akan terjadi.” Begitulah ucapan orang itu pada ayah ibuku. Aku mengira orang itu akan memberi selamat atau terimakasih atas apa yang dilakukan ayah, itu membuatku kesal.

Aku memang pemarah.

Ibu pernah berkata bahwa jadilah anak perempuan yang lemah lembut dan tidak gampang marah. Saat itu aku dipanggil ke ruang kepala sekolah karena memukul anak laki-laki yang sengaja menumpahkan jus apel ke atas buku pr ku.

“Itu baru tuan putri ayah.” Begitu yang ayah katakan setelah pulang dari pertemuan dengan kepala sekolah.

Tapi aku benci.

Ketika pintu utama rumah dibuka, ketika ayah mencium dahi ibu dengan sayang, ketika ibu menangis memeluk ayah… Aku hanya bisa mengintip dari balik ruang tengah. Mengepal tanganku yang gemetaran.

Aku takut.

“Ayah…” Panggilku. Ayah tersenyum, menyakitkan melihatnya tersenyum. Sakit karena aku takut.

Aku memang penakut.

Aku memberi hormat padanya ala tentara sembari menahan diri agar tidak menangis. Aku tuan putri ayah. Bukan gadis cengeng manja.

Tapi tak bisa aku pungkiri, bahwa aku sangat takut.

“Maaf….beliau adalah komandan yang hebat….” Ingin aku menonjok wajah tentara yang datang 3 bulan kemudian kerumahku. Ibu tersungkur dan menangis sejadi jadinya. Air mata ibu terjatuh, pria itu sudah membuat ibu menangis. Apron yang ibu kenakan sudah basah terkena air matanya. Jemari kurus dan pucat ibu mengusap air matanya dengan gemetaran, sementara tangan satunya memeluk dadanya yang pasti terasa sesak. Ibu jarang sekali menangis, karena ibu kuat…

Ibu kuat karena ayah.

 

 

Hal yang aku takutkan terjadi….

Aku kehilangan senyum ayah, aku kehilangan ucapan tegas ayah, bahkan aku merindukan panggilan ‘Tuan Putri’ nya padaku.

Aku kehilangan pahlawanku.

Hal yang bisa aku beri sebelum beliau pergi bertugas hanya wajah tegasku yang berusaha tampak tegar. Wajah gadis pemberani, tanpa air mata, hanya itu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika aku sampai menangis dihadapannya hari itu.

Semua itu karena aku tahu, kalau aku adalah Tuan Putri Ayah.

 

-SKP-